Beranda | Artikel
Berjalanlah Mengikuti Bayangan Unta!
Minggu, 9 September 2012

BERJALANLAH MENGIKUTI BAYANGAN UNTA!

Kisah Wail bin Hujr dan Muawiyah Radhiyallahu anhum

Setelah Fathu Makkah maka dakwah Islam semakin berkembang luas menyebar ke berbagai penjuru. Manusia berbondong-bondong masuk Islam. Kafilah dari Hadhramaut, Yaman Selatan, di tahun kesembilan Hijriyah bergerak menuju kota Madinah untuk menyatakan keislaman mereka dan berjanji setia kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.

Di antara rombongan ada seorang Raja yang bernama Wail bin Hujr. Mereka menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk menyatakan keislaman mereka.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sangat bergembira dan menghormati para tamu yang datang.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberi sebidang tanah dan kebun yang luas untuk Wail bin Hujr Radhiyallahu anhu selaku mualaf dan seorang raja. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma untuk mengantar Wail dan menunjukkan tanah untuk tempat tinggal Wail.

Muawiyah saat itu berusia sekitar dua puluh lima tahun masih dalam keadaan miskin. Ia berjalan tanpa alas kaki. Sedangkan Wail bin Hujr yang usianya sekitar sepuluh tahun lebih tua dari Muawiyah menaiki unta. Kota Madinah dalam keadaan panas yang menyengat, dan tempat yang dituju tidaklah dekat. Meskipun Muawiyah telah terbiasa berjalan tanpa alas kali tapi tetaplah merasa kepanasan, sehingga ia memohon kepada Wail agar memboncengnya di atas unta. Wail menjawab, “Aku bukanlah pelit untuk mengizinkanmu naik di atas unta, tapi anda tidak pantas untuk membonceng dan duduk bersama seorang raja.

Ucapan yang keluar dari Wail sangat menyakitkan dan merendahkan Muawiyah. Muawiyah sendiri sebenarnya putra seorang bangsawan, anak dari pemimpin kota Makkah. Muawiyah yang masih muda dan juga baru masuk Islam tidak lebih dari dua tahun menahan diri dan tidak membantah. Beliau juga sadar bahwa dirinya diamanati oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk mengantar tamu yang harus dimuliakan. Muawiyah juga memaklumi bahwa Wail bin Hujr baru masuk Islam belum ditarbiyah oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat utama lainnya.

Muawiyah memohon lagi kepada Wail bin Hujr, “Pinjamkanlah sandalmu kepadaku!
Wail pun tidak mau meminjamkan sandalnya meskipun ia duduk di atas unta dan tidak sedang membutuhkan sandal yang dikenakannya.
Wail menjawab, “Berjalanlah mengikuti bayangan unta!

Muawiyah mampu meredam emosi dan tidak mendebat Wail.

Ia berjalan tanpa alas kaki di terik panas. Ia berlindung di bayangan unta yang berjalan yang sebenarnya tidak mengurangi rasa panas di kakinya. Seandainya unta itu diam berdiri selama empat jam, mungkin seseorang bisa berteduh di bayangan unta dan mengurangi rasa panas di kaki. Singkat cerita, Muawiyah dan Wail sampai di tempat tujuan, lalu Muawiyah pamit pulang.

Waktu berjalan sampai lebih dari tiga puluh tahun kemudian. Allah menakdirkan Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma menjadi Khalifah yang kekuasaannya meliputi Jazirah Arab, Persia, Afrika dan lainnya.

Di masa khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu terjadi perang saudara yaitu perang Shiffin antara pasukan Khalifah Ali Radhiyallahu anhu dan pasukan Muawiyah Radhiyallahu anhu, Wail bin Hujr Radhiyallahu anhu bersama suku dari Hadhramaut berpihak kepada Khalifah Ali Radhiyallahu anhu.

Setelah itu Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu wafat menjadi syahid in sya Allah, beliau dibunuh oleh kaum Khawarij. Kekhalifahan berganti kepada putra beliau, Hasan bin Ali Radhiallahu anhuma. Enam bulan setelah Hasan dibaiat oleh kaum muslimin, beliau menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah agar kaum muslimin bersatu dan tidak berpecah belah. Wail bin Hujr pun berbaiat kepada Muawiyah.

Suatu waktu, datanglah Wail bin Hujr menemui khalifah Muawiyah di Damaskus. Usia Wail bin Hujr saat itu sekitar delapan puluh tahun. Muawiyah menyambutnya dengan hangat dan menghormatinya. Muawiyah mendudukkan Wail bin Hujr di singgasananya. Khalifah juga memberinya uang, tapi ditolak oleh Wail sambil berkata, “Berikanlah harta ini kepada orang lain yang lebih membutuhkan dariku

Dalam pembicaraan mereka berdua di antaranya mengenang pertemuan mereka untuk pertama kali dan penolakan Wail bin Hujr untuk membonceng Muawiyah. Mereka berdua berbicara dengan suasana hangat.

Wail bin Hujr menyesali sikapnya dahulu saat baru masuk Islam kepada Muawiyah. Wail berkata kepada teman-teman majelisnya,  “Jika waktu bisa mundur, aku ingin saat itu menggendong Muawiyah.”

Pelajaran dan hikmah yang bisa kita petik dari kisah di atas di antaranya.

  • Menghormati dan memuliakan tamu merupakan tuntunan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
  • Dalam hidup kita harus sabar menahan rasa sakit hati disebabkan ucapan dan sikap saudara-saudara kita. Lebih khusus lagi kita harus banyak memaklumi kesalahan mualaf atau orang yang belum banyak belajar tentang Islam.
  • Tugas kita untuk terus membina diri dan membimbing mereka dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
  • Sabar, santun, tahan emosi merupakan sifat dari orang-orang yang bertakwa.
  •  Balaslah keburukan dengan kebaikan. Allah berfirman,

وَلَا تَسْتَوِى ٱلْحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ ۚ ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ 

Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan. Tolaklah (keburukan itu) dengan cara yang lebih baik.” [Fushshilat/41: 34]

  • Antara akhlak yang mulia dalam Islam adalah rendah hati. Wail bin Hujr Radhiyallahu anhu setelah kuat keimanannya ia tidak gengsi untuk mengakui kesalahannya di masa lalu. Beliau dengan rendah hati menceritakan sendiri kisah aibnya di masa lalu bukan untuk membanggakan kesalahan tapi untuk menjadi pelajaran bagi kaum muslimin. Cerita beliau ini secara ringkas dimuat dalam musnad Imam Ahmad, Shahih Ibnu Hibban dan dibaca oleh kaum muslimin sedunia dari generasi ke generasi.
  • Nikmat itu tidak langgeng. Suatu saat orang miskin bisa berubah menjadi kaya. Setiap muslim harus selalu optimis dan tidak boleh pesimis atau putus asa. Orang yang kaya juga bisa jatuh menjadi miskin. Orang kaya, cendekiawan, dan setiap orang yang mendapatkan kenikmatan harus selalu bersyukur kepada Allah dan rendah hati serta mengatur ucapannya agar tidak menyakiti orang lain.
  • Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Kita berusaha menjadi pribadi yang mandiri dan merdeka. Orang-orang yang wara’, mereka khawatir jika menerima pemberian dari pemerintah atau pihak lain, menjadikan lidah mereka kelu dan tidak mampu untuk beramar ma’ruf nahi mungkar.  Sikap mandiri dan merdeka juga harus dimiliki oleh lembaga, kelompok Islam dan negeri-negeri kaum muslimin. Ketergantungan suatu lembaga atau negara kepada pihak lain atau negara lain menjadikan mereka “dikuasai” dan “terjajah.”

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ ضَلَعِ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ

Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari lilitan hutang dan dari dikuasai oleh manusia.

  • Sifat pengikut Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah “ruhama bainahum” saling menyayangi. Sifat orang-orang yang dicintai Allah adalah “adzillatin alal mukminin” merendah kepada sesama mukminin.

Terkadang terjadi perselisihan di antara orang-orang yang beriman. Perselisihan sering terjadi disebabkan perangkap setan, mengikuti hawa nafsu, dan provokasi dari kaum munafikin atau orang-orang kafir. Hanya saja orang-orang yang bertakwa tidak terus menerus dalam perselisihan, mereka membenci perselisihan dan segera berupaya untuk bersatu.

Allah akan memuliakan dan meninggikan derajat orang yang tidak gengsi untuk meminta maaf dan tidak berat untuk memaafkan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat akan bersegera bersatu dan saling bersinergi serta tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai khaira ummah, sebaik-baik umat, aamiin.

Referensi : Buku Al Lu’Lu Al Maknun fii Sirah An Nabiyyi Al Ma’mun,  Musa Al Azimi. Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir rahimahullah

5 Muharram 1442H/24 Agustus 2020 M
Fariq Gasim Anuz


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3359-berjalanlah-mengikuti-bayangan-unta.html